“Aku ingin menjadi
seorang Abdi Negara..”
Melihatnya berdiri gagah dengan seragam lengkapnya membuatku
terenyuh, seakan kenangan beberapa bulan lalu mengajakku kembali bertemu
dengannya. Impiannya sudah semakin dekat, itu artinya semakin banyak pula
tanggung jawab yang akan ia dapat.
Ucapanmu yang tiba-tiba itu membuat mataku terkisap. Ingatkah saat kita duduk berdampingan di halaman depan? Kau mengatakan kepadaku tentang impian demi impian yang sudah kau tuliskan dalam sebuah goresan, Membahagiakan dua orang yang sangat kau hormati, Hidup demi Ibu Pertiwi, Menjadi saksi untuk Negeri ini, bahkan impianmu menjadi Imam untuk Tulang rusukmu nanti.
Ucapanmu yang tiba-tiba itu membuat mataku terkisap. Ingatkah saat kita duduk berdampingan di halaman depan? Kau mengatakan kepadaku tentang impian demi impian yang sudah kau tuliskan dalam sebuah goresan, Membahagiakan dua orang yang sangat kau hormati, Hidup demi Ibu Pertiwi, Menjadi saksi untuk Negeri ini, bahkan impianmu menjadi Imam untuk Tulang rusukmu nanti.
Seorang taruna yang senyumnya tersembunyi di dalam sudut
empat puluh lima derajat. Yang berjalan tegak, lurus tanpa boleh menoleh
kebelakang meski hanya untuk sekali saja.
“Aku mendukung apapun impianmu, tapi apa menjadi Abdi Negara tidakkah terlalu beresiko?”
Yang Kudapat? Hanya senyum manis dari bibirmu.
Tidakkah kau tahu bagaimana arti dari sebuah jarak selalu mengingatkan aku untuk tidak berhenti melantunkan untaian do’a dalam setiap Sujudku kepada-Nya? Dan kenapa aku begitu ingin terus terikat dalam rantai-rantai hatimu?
“Aku ikhlaskan Kau mengabdi untuk Ibu Pertiwi. Aku izinkan kau untuk pergi, tapi maukah kau
berjanji? Kau harus kembali.”
@aapangestu, 2014.
@aapangestu, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar