Kita bertemu di antara langit senja. Langit luas yang menaungi seluruh
jagat raya. Tak pernah terpikir olehku dapat bertemu lelaki gagah sepertimu.
Yang dapat berubah seketika menjadi konyol saat berdua denganku. Kau itu sama
seperti langit, sama-sama menaungi. Apabila langit menaungi seluruh manusia di
bumi, maka kaupun juga menaungi manusia. Dan manusia itu bernama Aku,
Masa-masa peralihan itu kita lewati bersama. Peralihan saat mencari siapa
sebenarnya kita ini. Kita sama-sama dilahirkan dari rahim seorang perempuan
yang kuat serta hebat. Perempuan yang menginginkan anak-anaknya suatu saat
kelak dapat hidup bahagia. Perempuan itu sama-sama kita panggil Ibu. Ibumu
menginginkan anak lelaki pertamanya berkecimpung dalam dunia militer sedang
ibuku menginginkan anak perempuan terakhirnya berada dalam bidang kesehatan.
Sederhana bukan? Hanya keinginan seorang Ibu.
Demi hormatmu terhadap perempuan yang telah melahirkanmu, maka kaupun
memutuskan untuk masuk kedalam dunia militer. Tahun pertama masuk kau baik-baik
saja, karena aku yakin kau daalah lelaki yang kuat. Untuk masalah fisik kau tak
perlu diragukan lagi, tapi masalah hati? Aku belum mampu menjawabnya. Didikan
orangtuamu yang keras itu menjadikan dirimu menjadi sosok yang keras pula.
Hari itu hari jumat, tepat setelah para lelaki menuntaskan kewajibannya
terhadap sang maha kuasa, kau datang. Masih dengan seragam lengkapmu kau
berjalan mendekat kearahku. Dengan wajah penuh peluh tapi aku tetap mengenalimu
sebagai lelakiku.
“Maaf, aku menemukan jalan hidupku
yang lain..”
Seketika hatiku menggeram hebat, pikiranku membeku dan otakku berhenti
berpikit. Inikah akhirnya? Apa arti perjuangan diri kita masing-masing?
“Bukan, bukan.. kau jangan
berpikiran macam-macam. Jalan hidupku yang lain adalah Pendidikanku..”
Tidak, dia tidak sejahat itu. Pendidikannya merenggut seluruh
perhatiannya. Bahkan aku tidak mampu mengalihkannya. Aku sadar, ia merupakan
seseorang yang tak mampu membagi perhatiannya.
Aku diduakan oleh pendidikannya, itu berarti aku diduakan dengan Ibu Pertiwi
tentu saja aku kalah. Tak apa aku kalah, karena ini juga demi masa depannya.
Teruskan saja perjuanganmu, akan kutunggu kau dari sekarang. Persiapkan hati
utuhmu untukku, dan akan kupersembahkan pula hati ini untukmu.